Teringat tahun lalu, dimana-mana heboh masalah zonasi PPDB. Banyak orang tua yang nggak terima karena merasa anaknya yang sudah mati-matian belajar buat dapat Nilai UNBK tinggi, eh ujung-ujungnya nggak bisa masuk sekolah unggulan yang diimpikan gara-gara sekolahnya jauh dari rumah. Kayak gini jadi keinget cerita saya sendiri, lulusan SMP di kabupaten yang berkeinginan melanjutkan sekolah ke SMA yang ada di kotamadya.
Bagi sebagian penduduk kabupaten tempat saya tinggal yang memang berbatasan langsung dengan ibu kota provinsi, kalau nggak masuk ke SMA-SMA di kotamadya bakal dianggap auto-madesu. Stupid really. Bahkan SMA terbaik di kabupaten saya sekalipun, kualitasnya dianggap masih berada di bawah beberapa SMA di sana.
Yang digadang-gadang sebagai 'jalur emas'-nya anak-anak Surabaya dan sekitarnya |
Di keluarga saya, yang namanya cerita nyari SMA selalu menarik, bahkan lebih menarik daripada nyari universitas. Kenapa? Karena setiap anak, dari nomor 1 sampai 4, SMA-nya tidak ada yang sama dan punya bagian menarik mereka masing-masing. Padahal, dari TK sampai SMP kami semua 1 almamater.
Kakak paling tua, yang memang selalu rangking di kelas, lulus SMP dengan predikat 2nd runner up seangkatan. Pada jaman itu, 20 tahun yang lalu, belum ada yang namanya pembatasan kuota penerimaan siswa dari luar daerah, apalagi sistem zonasi seperti sekarang. Siswa dari luar Jawa pun bisa bersaing dengan siswa-siswi lulusan SMP di kota-kota besar di Jawa dengan bobot nilai UN yang sama. Dengan modal seaduhai itu, tentu saja masuk ke SMA paling prestisius di provinsi pada saat itu, SMA yang berada di Jl. Kusuma Bangsa No. 21, buat kakak saya sudah tinggal tutup mata saja.
Kakak yang nomor dua, unfortunately, nilai UN-nya nggak sampe masuk TOP 5 seangkatan, padahal itu sudah jadi seperti syarat tidak tertulis kalau mau diterima di SMA yang sama dengan kakak sulung. Akhirnya, karena Papa tidak mau gambling, Papa mendaftarkan kakak ke-2 ke SMA depan GO Jimerto biar kakak kedua ini nggak ngerasa jauh dari kakak sulung karena emang SMA-nya sebelahan persis. Lha kok setelah pendaftaran ditutup dan hasil diumumkan, ternyata nilai UN kakak ke-2 ini sebenarnya masih masuk ke SMA sebelah 😖. Pada jaman itu, 18 tahun yang lalu, sistem penerimaannya belum online dan real-time seperti sekarang. Kakak ke-2 jadinya menyesal setengah mati, ya tapi mau gimana lagi. Papa jadinya terus membesarkan hati kakak saya itu sampai akhirnya dia bisa nerima.
Nah, saya, anak ke-3, cerita nyari SMA-nya bisa dibilang yang paling mengenaskan dibanding saudara kandung saya yang lain. Saya akui, masa SMP adalah masa yang memang paling ingin saya lupakan. Karena di SMP inilah masa-masa paling labil dan ‘nggak belajar’ dalam hidup saya. Walhasil, nilai-nilai pelajaran termasuk nilai UN pun hancur. Sebenarnya nggak jelek-jelek amat sih, masih masuk lini tengah seangkatan, tapi karena Papa tidak memperbolehkan anak-anaknya sekolah di kotamadya kecuali di SMA ‘Komplek’ dan yang diterima di SMA-SMA itu--sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2003--dari SMP saya selalu yang berada lini atas, jadinya saya merasa nilai saya hancur banged. Sesuai kesepakatan dengan Papa, kalau nggak keterima di SMA ‘Komplek’, cukup sekolah di SMA yang tidak jauh dari rumah. Walhasil, jatuhlah pilihan pertama saya saat PSB SMA di kabupaten saya, 14 tahun yang lalu, pada SMANTARU, SMA yang pada saat itu, berdasarkan sortasi nilai UN terendah dari siswa-siswi yang diterima, berada di peringkat 11 dari 12 SMA negeri sekabupaten! 😅 ke-2 dari bawah! What a school! Tapi saya memang juga nggak minat masuk ke SMA negeri yang lain, termasuk SMA terbaiknya sekalipun. Selain jauh dari rumah, buat saya semua SMA negeri di kabupaten saya itu sama aja!
Yang terakhir, adik saya, si bungsu kami. Setelah melihat pengalaman pahit yang dialami masnya karena gagal masuk SMA ‘Komplek’, dia mulai menyusun strategi agar dapet nilai UN yang jauh lebih baik dari saya. Dia yang di kelas 7 dan 8 haha-hihi aja di kelas kayak saya dulu, di kelas 9 dia berubah jadi anak yang rajin dan bahkan di beberapa mata pelajaran termasuk jajaran siswa yang menonjol di kelas. Kelar UN pun dia sumringah karena nilainya masuk di jajaran lini atas sesuai target. Walhasil, saat PSB SMA di kotamadya 13 tahun yang lalu, dia bisa melenggang dengan syantik ke salah satu cabang SMA ‘Komplek’ yang juga jadi almamaternya Ahmad Dhani dan Ari Lasso, sekolah yang memang dia mau.
Bekas SMA jaman Belanda yang kini menjadi SMA 'Komplek': 4 SMA negeri favorit di Surabaya |
Kenangan soal nyari SMA ini memang masih menjadi cerita yang paling menyakitkan dalam hidup saya, bahkan lebih menyakitkan dibandingkan gagal DIV 4 kali. My high school time wasn’t really easy back then karena saya selalu dibanding-bandingkan dengan saudara-saudara kandung saya dan dianggap produk gagal. Saya sudah terbiasa dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitar saya hanya karena saya memilih bersekolah di situ. Bahkan sampai hari ini pun, setelah 11 tahun saya lulus dari SMA itu, masih aja ada orang yang nge-bully saya sambil bawa-bawa almamater. I mean, really?
Tetapi dari kejadian tersebut, kami sekeluarga jadi memperoleh pelajaran yang sangat berharga. Papa-Mama, termasuk saya sendiri, yang sebelumnya sangat SMA ‘Komplek’-minded, menjadi orang yang lebih bijaksana dan sadar bahwa bukan almamater yang mendefinisikan masa depan seseorang, tapi kualitas dari orang tersebut.
So, whatever you say about me and my almamater, I’ll always love and be proud of being part of SMANTARU! It shouldn't be our alma mater that makes us look great, but we're the ones who should make it great!